Pengembangan Diri dan Hidup : Jujur Tidak Semurah Beras Kencur

on Monday, March 9, 2015

Apa kalian memiliki barang-barang yang harganya bisa dibilang, cukup menguras dompet? Tentu saja ada, minimal 1 buah. Bisa saja itu smartphone, televisi, pakaian, tas, ataupun sepatu. Saya akui, harga benda-benda yang kalian miliki, meski saya tidak tahu apa bendanya, pasti ada yang mahal. Namun, saya yakin, harganya dan nilainya tidak akan sebanding dengan hal yang satu ini.

Ya, kita sedang berbicara kejujuran. Kita sedang membicarakan sebuah bagian dari kehidupan manusia yang sekarang semakin terpinggirkan. Manusia semakin menepikan kejujuran, padahal ia memiliki nilai kehidupan yang begitu luar biasa dan merupakan salah satu kunci menuju kesuksesan hidup. Lalu, bagaimana opini saya mengenai kejujuran? Bagaimana kita menciptakan kejujuran dan mengapa harus? Mari kita simak lewat opini dan pembahasan saya.

POTONGAN KEHIDUPAN YANG MAKIN DITEPIKAN

Jujur atau integritas adalah salah satu bagian paling penting dalam kehidupan. Ia sesungguhnya mampu meningkatkan nilai moral kita sebagai manusia yang berintegritas dalam setiap hal yang kita lakukan. Kejujuran saya anggap sebagai salah satu pedoman penting menuju kehidupan yang sukses.

Namun, marilah kita melihat era sekarang ini. Kejujuran menjadi potongan hidup yang makin ditepikan. Kita mulai kehilangan pemimpin berintegritas, pelajar jujur, dan manusia yang bersih dari segala kebohongan. Nilai kejujuran saat ini malah lebih rendah daripads segelas jamu beras kencur. Loh kok bisa?

Kejujuran makin ditepikan karena manusia menginginkan hasil instan. Contoh paling umum? Menyontek. Di sekolah, saya paling benci menyontek(Bukan sombong). Teman-teman saya sering menanyakan jawaban kepada saya. Jawaban yang selalu saya berikan? Mengangkat bahu menandakan bahwa saya tidak tahu jawabannya(Padahal saya tahu). Saya ingin agar teman-teman saya berusaha mengerjakan sendiri soal latihan. Tapi, mereka malah bertanya kepada teman lain. DI SITU KADANG SAYA MERASA SEDIH. Mengapa saya sedih karena ketidakjujuran manusia? Simak pembahasan kedua.

PROSES YANG TERPENTING, BUKAN HASIL

Pernahkah ada seorang murid di kelas atau sekolah anda yang selalu mendapat nilai bagus bahkan tertinggi di kelas secara sering? Pasti iya. Dan bagaimana jika kalian tahu bahwa ternyata dia mencontek? Mengejutkan. Ya dibalik sebuah hasil yang baik, ternyata ada cara yang buruk. Ini membuktikan bahwa jika hasilnya baik, tapi caranya buruk, orang lain pasti akan terkejut. Apa yang dapat kita simpulkan? Proses lebih penting daripada hasil. Akan lebih baik jika caranya baik, tapi hasilnya buruk. Ini dapat kita gunakan sebagai pedoman kita untuk memperbaiki diri, karena jika anda tugas mendatang, kita dapat menggunakan cara yang baik, dan menghasilkan hasil yang baik.
"Meski terkadang, proses yang baik menghasilkan hasil yang buruk, proses yang baik akan menghasilkan pedoman bagi kita untuk memperbaiki diri dan menjadi lebih baik lagi di masa mendatang."

Cinta : Bahagia Meski Jomblo

on Sunday, March 8, 2015
Cinta adalah salah satu bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Meski terkadang, orang yang kita cintai, ternyata bukan yang tepat bagi kita, namun pada saat kita masih mencintainya, kita tetap berkewajiban untuk menjaganya, apalagi menjaga kepercayaan dan isi hatinya. Cinta juga memberi aliran rasa tenang dan bahagia bila bersama si dia, seperti saat malam mingguan, jalan bersama makan malam bersama, atau ngapel ke rumah pasangan.

Hampir setiap dari kita pernah menjalani dan merasakan yang namanya cinta monyet. Cinta-cintaan model ini sangat populer di kalangan pelajar. Tentunya kalian yang sudah menjalani cinta monyet, pernah merasakan nikmatnya saling tatap-tatapan dengan orang yang kalian suka, duduk atau jalan bersama di sekolah, memberikan surprise saat dia ulang tahun atau momen yang indah.

Namun, bagaimana saat ternyata, masih ada teman kita yang masih jomblo? Saya sudah pernah menjalani dan merasakan cinta monyet, dan saat ini saya masih single, maka saya akan menjabarkan opini dan pembahasan mendalam saya mengapa kita harus bahagia meski jomblo. Mari, simak pembahasan berikut ini.

Malam Minggu? Gak Perlu Sedih!

Malam Minggu dianggap banyak orang single atau jomblo sebagai waktu penderitaan yang begitu berat? Apa pasal? Selain karena harus menjalani malam yang penuh keromantisan(Katanya), mereka yang jomblo harus melihat pasangan lain dengan penuh romansanya saling ngobrol, selfie bersama, ataupun suap-suapan(Ini jijik banget). Apalagi yang menjalani cinta monyet. Jalan sama pasangannya, makan bareng, itu rasanya memang menyenangkan.

Sedih? Gak perlu!! Ada masa, dimana cinta tidak selalu indah, dimana cinta kadang menjadi sesuatu yang menyakitkan. Ada saat dimana sepasang kekasih berkelahi, menangis, meratapi perihnya cinta dan sakit hati. Inilah yang menjadi keuntungan buat anda yang jomblo. Di saat teman anda yang telah berpacaran menangis dan murung karena konflik dengan pasangannya, anda yang jomblo bisa dengan bahagia sambil bersantai dan membaca buku. Di saat teman anda wajahnya tertekuk karena perkelahian dengan pasangannya, anda bisa menikmati hidup dan dengan santai mengatakan kepadanya, "Makanya, jangan pacaran dulu."

Tak Selamanya... Jomblo Itu Sedih.....

Memang benar, tak selamanya jomblo itu sedih. Itu telah terbukti, tentunya terbukti kepada saya. Selama saya jatuh cinta terhadap seseorang, nilai kompetensi saya di sekolah kadang tinggi, kadang sedang. Namun, ketika saya merasa bahagia menjadi single, nilai saya tetap konsisten berada di atas 90. Nilai saya konsisten karena saya tidak sedih meski orang yang saya suka memilih orang lain, ataupun karena tidak ada yang menyukai saya. Semua itu saya acuhkan. Saya lebih memilih fokus kepada pelajaran.

Saya merasa tidak sedih. Yang terpenting, nilai saya bagus dan saya bisa bahagia karena nilai saya bagus meski saya jomblo. Terlebih lagi, sebuah survei dari Oxford University membuktikan, bahwa cinta bisa membuat orang bodoh, baik dalam tindakan maupun kompetensi. Inilah yang membuat banyak orang memfokuskan otak terhadap orang yang mereka cintai. Pada akhirnya, ketika cinta mereka tak terbalaskan, itu akan sangat menyakitkan.

Kesimpulan dan Solusi

Pada akhirnya, kita tiba pada sebuah kesimpulan, bahwa pada dasarnya, tidak selamanya cinta membuat kita bahagia. Cinta tidak selamanya indah. Cinta seperti langit, yang terkadang diterangi sinar matahari yang begitu hangat, namun terkadang, awan kelam menyelimutinya dan menghembuskan angin yang begitu kencang serta petir yang menggemuruh. Maka itu, kita juga harus tahu, bahwa kadang sendiri itu lebih baik. Kita tidak butuh yang namanya cinta ketika kita bisa menjalani hidup dengan mandiri.

Solusi terbaik? Percaya diri. Kalian harus percaya, bahwa kalian dapat hidup sendiri untuk sementara hingga saat kita memiliki pasangan tiba. Kita harus percaya bahwa dengan tanpa adanya cinta, kita bisa fokus dengan menjalani apa yang sedang kita fokuskan. Karena sesungguhnya, waktu anda menjomblo akan berakhir dan cinta yang sesungguhnya akan datang untuk anda, karena seperti yang dikatakan oleh seorang penulis ternama, John Galsworthy, bahwa :


Sekian opini dari saya pada malam hari ini. Terima kasih telah membaca! Jika ingin memberi masukan ataupun kritik dan saran, tuliskan di kolom komentar di bawah. Saya akan luangkan waktu untuk membaca saran dan masukan dari kalian semua. Selamat malam!

Sosial : Sindrom Gila Internet dan Rendahnya Sosialisasi Akibat WiFi

on Saturday, March 7, 2015
Kita adalah manusia yang hidup di bawah bendera globalisasi, dimana semua manusia menjadi seolah menjadi satu dunia. Ia mampu membawa kita pada penyebaran dan kemajuan teknologi, budaya, ekonomi, politik, dan gaya hidup yang modern. Kita hanya membutuhkan segenggam smartphone untuk menjelajah dunia dengan begitu luas tanpa perlu mengeluarkan uang selembarpun. Ia menghadirkan segala kemudahan bagi kehidupan kita lewat aplikasi yang mampu membantu kita dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satunya? WiFi. Alat ini tak ubahnya 'raja teknologi' di era modern seperti ini. Ia begitu dipuja dan dibutuhkan lapisan masyarakat kelas atas dan menengah. Ia mampu menghadirkan akses Internet non-stop yang begitu luas. Ingin tahu mengapa saya menyebut WiFi sebagai pencipta jurang luas bagi masyarakat dan dunia sosial? Dan mengapa saya menyebutnya dapat menciptakan sindrom gila internet? Mari kita simak opini dan pembahasan saya berikut ini.

Pencipta Jurang Sosial Masyarakat

Saya adalah tipe orang yang cukup menggemari minum kopi, seperti kopi racikan cafe terkenal dengan logo putri duyung. Setiap saya pergi ke outlet yang sama di lokasi yang berbeda, saya selalu menemui stiker di dinding yang bertuliskan : "Free WiFi Hotspot". Menyenangkan? Tentu saja. Siapa yang tidak ingin menikmati akses WiFi secara gratis, apalagi kuota bulanan sedang habis.




Inilah yang menarik minat saya untuk membahas lebih dalam mengenai apa hubungannya WiFi dan aktivitas sosial masyarakat. Saya telah melihat, hampir semua orang yang hangout di cafe atau restoran, lebih asyik dengan smartphone yang telah terkoneksi dengan WiFi. Akibatnya? Hampir setiap orang memegang smartphone-nya dan meninggalkan dunia aslinya. Cafe atau restoran, yang seharusnya menjadi tempat hangout atau nongkrong santai bersama teman, saudara, ataupun keluarga, berubah secara mendadak ketika WiFi tersedia. Cafe berubah menjadi tempat dimana setiap orang berlomba-lomba untuk 'numpang' WiFi gratis. Orang-orang sekedar beli minum yang akhirnya cuma jadi pajangan dan kemudian minta password WiFi, dan akhirnya lebih meng'hayati' akses Internetnya daripada minum minuman yang ia beli ataupun sekedar ngobrol bersama teman atau keluarga.

Saya Menyebutnya : 'Sindrom Gila Internet'

Anda tentu pernah dengar WiFi portable. Di Indonesia, kehadiran WiFi portable sedang booming karena kehadiran WiFi portable dengan akses Internet cepat dengan merek yang jika diterjemahkan bernama 'Petir'. Nah, teman-teman saya pun begitu. Kata-kata seperti, "Minjem WiFi lu dong", selalu terdengar di telinga saya. Saya juga terkadang berpikir, "Apa mereka nggak punya kuota ya?" Baik saat jam pelajaran berlangsung, istirahat, ataupun pulang sekolah, aktivitas pinjam-meminjam WiFi bagaikan transaksi intensif antara tukang sayur dengan ibu-ibu rumahan. Jika tidak dipinjamkan, teman-teman saya sering berdebat agar WiFi yang dimiliki oleh salah satu teman saya dipinjamkan olehnya.

Inilah yang saya sebut dengan 'Sindrom Gila Internet'. Ini bukan penyakit yang telah ditemukan ilmuwan ataupun dokter ahli. Sebenarnya ini adalah kebiasaan dan perilaku yang menunjukkan bahwa manusia seolah-olah tidak dapat hidup tanpa WiFi. Kebiasaan ini justru tidak baik bagi kita sendiri. Kegilaan kita bisa membawa kita pada dunia virtual yang pada akhirnya, memutus hubungan kita antara diri kita sendiri dunia nyata. Kita menjadi tidak peduli terhadap keamanan diri kita, kehidupan diri kita sendiri.

Kesimpulan dan Solusi

Pada akhirnya, semua opini saya mengakar pada satu kesimpulan : WiFi telah menciptakan jurang yang luas dalam sosialisasi dan menciptakan kebiasaan buruk bagi penggunanya. Ia secara perlahan, seperti narkotika, membawa kita pada fantasi virtual yang begitu indah dan adiktif, namun pada akhirnya, diri kita sendiri yang akan menjadi korban.

Solusinya? Tentu saja, cobalah disconnect-kan WiFi anda, letakkan smartphone anda, dan bergabunglah dengan teman atau keluarga anda yang sedang asik mengobrol. Jaminannya, bahwa anda akan mengikuti aliran obrolan yang begitu hangat dan penuh keakraban. Pandanglah dunia luar yang indah, sejenak segarkan diri anda dengan sosialisasi dengan tetangga ataupun teman. Anda harus menyadari, bahwa hanya masyarakat dan orang-orang yang ada di sekitar kita, yang mampu memberi kenyamanan dan kekuatan, melebihi apa yang dimiliki sang 'raja teknologi', WiFi.